Koalisi Hati dan Pikiran Dalam Dialog Diri
Ilustrasi |
Sebuah dialog hati dan pikiran dalam diri seorang anak manusia |
Pada malam yang sunyi di sebuah kota kecil. Dalam bilik kos berbentuk persegi empat tempat seorang anak manusia bernaung. Anak manusia itu adalah diriku.
Sunyinya malam paling asik untuk merenungi setiap hal yang telah terjadi dan dilalui. Entah mengapa acapkali rawan untuk menangis dalam perenungan. Ditambah malam itu sunyi tanpa cengkrama, hanya nyanyian cicak bersahutan memecah keheningan. Atmosfer malam pun menyapa lewat dinginnya yang menusuk sampai tulang. Seakan ingin terlibat juga dalam penjagaan.
Dalam sepi itu hanya hati dan pikiran sendiri yang dapat berdialog. Koalisi antara hati dan pikiran menghadirkan emosi yang berkecamuk tak tentu arah. Merefleksikan setiap tragedi maupun kemisri yang telah lalu. Aku seakan bebas dalam hidup, hanya ada aku yang mengencani ego sendiri. Ego yang terus dituntut untuk dewasa agar selamat dalam perjalanan hidup yang dikemudikan akal nurani.
Bagian pembuka pikiran mengarahkan ku pada topik untuk diresapi. Rasanya hari ini terlalu haus berburu validasi. Seakan mati jika tidak tertawan oleh pengakuan dari yang lainnya. Namun hati menyahut dengan lembut, tak mengapa itu terjadi sebab berburu validasi bagian dari pendewasaan diri. Toh, tidak ada manusia yang menolak pengakuan. Namun, perlu digarisbawahi yang berlebihan sungguhlah fatal, tak baik kiranya niat agar diakui malah merusak citra diri.
Kali ini pikiran dan hatiku sependapat untuk memaklumi diri. Lanjut hati bertanya pada pikiran, mengapa lepas kendali saat hati menaruh cinta pada salah seorang anak manusia pujaan. Seakan mati terbius pesonanya, pikiran tak mampu memproses hal dengan logika. Pikiran malah menyalahkan hati yang terlampau candu pada anak manusia pujaannya itu. Candu itu mendorong pikiran pada jurang yang dalam, rasanya sakau jika seharipun tidak memikirkan dirinya.
Keduanya berdebat membela bahwa masing-masing yang paling benar. Akhirnya kinerja tubuh memproses hati dan pikiran. Hati meluapkan keluhnya dalam tangis yang tak terbendung. Sedangkan pikiran meluapkan keluhnya dalam tulisan. Asal kamu tahu, tulisan yang kamu baca ini adalah karya perdebatan hati dan pikiranku.
Setelah kinerja tubuh memproses hati dan pikiran yang berdebat prihal anak manusia pujaan si hati, aku bawa diriku sambil mendengarkan musik. Dapat dikatakan diriku adalah pembunuh yang handal. Bagaimana tidak, sedang emosi akibat koalisi hati dan pikiran tengah kacau malah disusupi oleh lagu-lagu gundah gulana. Menambah kegalauan diri yang sungguh menyiksa.
Sambil berlinang air mata, dengan liarnya pikiranku membawa pada bayangan masa depan. Semua tampak semu hingga menyisakan pertanyaan, akankah aku berhasil di kemudian? Hatiku marah pada pikiran yang menambah beban baginya untuk terus memproduksi emosi sedih. Pikiran malah menyalahkan diriku yang memutar lagu milik Nadin Amizah, Beranjak Dewasa.
Rasanya kegalauan ini menjadi-jadi, hati terus menjerit menghempaskan semua emosinya. Pikiran semakin liar dalam memikirkan segala hal yang belum tentu terjadi. Aku berusaha mengontrol diri, lewat lagu-lagu kesukaan lainnya. Pikiran dan hati mulai membaca keadaan dengan tenang.
Tak ada yang perlu ditakutkan tentang masa depan jika pikiran merespon keliaran itu dengan logika yang nalar. Dan tak ada yang perlu ditangisi akan masa depan jika hati merespon dengan damai. Artinya dialog ini berjalan santai, jika respon keduanya juga santai. Namun tidak bisa membohongi diri juga ketika hati dan pikiran merespon dengan kegalauan. Hanya saja perlu kontrol agar tetap pada kewarasan.
Pada nyatanya, pikiran dan hati adalah bagian dari satu kesatuan diri yang saling mengikat satu sama lain. Kerja pikiran memengaruhi respon pada hati, dan kerja hati memengaruhi respon pada pikiran. Kemudian hasil koalisi keduanya yang membentuk diri. Begitu kompleksnya diri ini.
Komentar
Posting Komentar