Cerita Anak Manusia: Tuhan Para Jalang

Ilustrasi

Setelah menyelesaikan sekolah menengah atas, orang tua Jamilah tidak mampu membiayainya berkuliah. Jamilah yang hidup sebagai anak tunggal dari keluarga miskin ini terpaksa ikut Ningsih tetangganya untuk bekerja di kota. Sempat ditahan oleh ibunya, namun, Jamilah bersikukuh untuk ikut Ningsih yang sudah 2 tahun merantau dan kabarnya bekerja di sebuah warung makan. 

Sejak kecil, Jamilah memang tidak pernah jauh dari rumah. Kesehariannya pun hanya berputar pada sekolah, mengaji, dan membantu pekerjaan rumah. Wajar, bila ibu Jamilah keberatan melepasnya pergi merantau ke kota.

"Kamu yakin, nak, mau ikut Ningsih bekerja di kota? Nanti kalau ada apa-apa bagaimana? Ibu tidak yakin Ningsih bisa dipercaya menjaga kamu. Dari kecil, dia saja sudah sering berbohong. Apalagi kamu tidak pernah kemana-mana. Ibu takut kamu kenapa-kenapa, nak."

"Jamilah sangat yakin, Bu. Kalau Jamilah terus-terusan di rumah, bagaimana hidup kita akan berubah? Bapak juga sudah sakit-sakitan. Mungkin dengan jalan inilah yang akan memenuhi kehidupan kita. Toh, selama 2 tahun merantau, Ningsih sudah terbukti menghasilkan banyak uang. Orang tuanya bisa hidup enak berkat kerja keras Ningsih di kota. Ibu jangan khawatir, Jamilah sudah dewasa pasti bisa menjaga diri dengan baik."

"Sudahlah, Bu, barangkali ini saatnya kita melepas Jamilah untuk melihat dunia yang lebih luas. Kasihan dia bila terus terkurung di rumah dan kampung ini," sahut bapak Jamilah dari balik tirai kamar yang tengah berbaring sakit.

Akhirnya, dengan berat hati ibu Jamilah mengizinkannya pergi merantau ke kota. Sebenarnya, ibu Jamilah kurang percaya pada Ningsih. Sejak kecil Ningsih sudah berteman dengan Jamilah, meskipun usianya 3 tahun di atas Jamilah. Karena lebih tua daripada Jamilah, Ningsih kerap memanfaatkan kepolosan Jamilah setiap kali bermain bersama.

***

Hari keberangkatan pun tiba. Dengan mata berkaca-kaca, ibu Jamilah memeluk erat putri semata wayangnya. "Hati-hati, nak. Jangan lupa berdoa setiap waktu. Ingat pesan ibu, apapun yang terjadi, pulanglah kalau merasa ada yang tidak benar."

Jamilah mengangguk dengan senyum kecil di pipinya. "Iya, Bu. Doakan Jamilah agar semuanya lancar. Sehingga Jamilah bisa pulang dengan sukses. Ibu dan Bapak sehat-sehat di sini."

Di perjalanan menuju kota, Ningsih bercerita banyak tentang kehidupan di sana. "Kamu bakal suka, Jamilah. Di kota itu semua serba cepat dan serba ada. Kamu mau apa saja pasti bisa dicari dengan cepat. Pokoknya menyenangkan. Kita bisa kerja sambil menikmati hidup. Beda sama di kampung yang monoton dan melelahkan."

Jamilah mendengarkan dengan penuh semangat. Dalam setiap cerita-cerita Ningsih ada harapan yang ia bayangkan. Jamilah membayangkan bisa membantu keluarganya dan mungkin suatu hari nanti bisa menabung untuk melanjutkan kuliah. Namun, di sebagian kecil hatinya, ada perasaan cemas yang sulit ia ungkapkan. Entah, mungkin karena ini pengalaman pertamanya meninggalkan rumah.

***

Sesampainya di kota, Jamilah terpesona dengan gedung-gedung tinggi, lampu jalanan yang gemerlap, dan keramaian yang tak pernah ia temui sebelumnya. Namun, rasa kagumnya perlahan memudar saat mereka tiba di sebuah gang sempit dengan rumah-rumah padat penduduk yang tampak kumuh dan sesak.

"Inilah tempat kita tinggal," ujar Ningsih santai sambil membuka pintu sebuah kamar kecil. 

"Ini... warung tempat kita bekerja juga?" tanya Jamilah, sedikit ragu.

Ningsih tertawa kecil. "Ah, tidak. Warungnya di tempat lain. Besok kita mulai kerja, jadi malam ini istirahat dulu. Kamu pasti capek."

Malam itu, Jamilah sulit tidur. Suara berisik dari penghuni lain di rumah kontrakan membuatnya merasa tidak nyaman. Namun, ia berusaha menenangkan diri, mengingat tujuan awalnya ke kota untuk membantu keluarganya.

***

Keesokan harinya, Ningsih mengajak Jamilah ke tempat kerja. Namun, ia terkejut melihat Jamilah yang mengenakan kerudung, dan malah menyuruhnya untuk melepas kerudung saat hendak pergi bekerja.

"Loh, Jamilah, kamu ngapain pakai kerudung? Kita ini di kota, tidak perlu bergaya seperti orang kampung. Kamu lepas saja kerudungnya, kita bekerja tidak mengenakan kerudung," ujar Ningsih.

"Tapi, aku dari dulu sudah terbiasa pakai kerudung, Ningsih. Pesan Ibu dan Bapak juga supaya aku tetap berkerudung," jawab Jamilah keberatan.

"Jamilah, Jamilah, nanti juga kamu akan terbiasa tidak pakai kerudung. Lagipula Ibu dan Bapakmu tidak tahu kamu di sini pakai kerudung atau tidak. Nanti kalau kamu bekerja pakai kerudung, yang ada orang-orang akan aneh melihatmu," Jelas Ningsih dengan nada tegas.

Jamilah pun tidak punya pilihan selain menuruti apa kata Ningsih. Dengan berat hati ia lantas membuka kerudungnya. Pada saat itu, firasat buruk Jamilah semakin kuat. Seperti ada yang tidak beres dengan pekerjaan ini.

***

Setibanya di tempat kerja, Jamilah terkejut saat mendapati bahwa pekerjaan yang dimaksud Ningsih bukanlah di warung makan seperti yang diceritakan, melainkan di sebuah klub malam. 

"Ini tempat kita kerja, Jamilah," ujar Ningsih ringan.

"Tapi, ini... ini bukan warung makan, Ningsih," balas Jamilah, suaranya bergetar.

"Ah, sudahlah. Jangan terlalu polos, Jamilah. Di sini kita cuma melayani tamu, kok. Kamu nggak perlu mikir yang aneh-aneh. Yang penting uangnya banyak, bisa kirim buat keluarga," jawab Ningsih dengan nada meyakinkan.

Namun, malam itu Jamilah merasa jiwanya terombang-ambing. Ia tak menyangka keputusannya meninggalkan kampung malah membawanya ke tempat yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan orang tuanya. Ia menyaksikan para wanita di klub tersebut melayani tamu dengan pakaian minim, tawa palsu yang dibuat-buat, dan lirikan yang menyimpan kepedihan. 

Jamilah mulai sadar bahwa ia telah masuk ke dunia yang gelap, dunia yang bukan hanya mengancam dirinya, tetapi juga kehormatan keluarganya. Namun, ia terjebak dalam janji manis Ningsih yang ternyata hanya topeng. Ke sekian kalinya Ningsih memperdaya kepolosan Jamilah.

***

Jamilah memutuskan bertahan beberapa hari sambil mencari cara keluar dari situasi itu. Suatu malam, ia bertemu seorang pelanggan yang terlihat berbeda. Lelaki paruh baya itu menatap Jamilah dengan iba, seolah memahami keresahan di matanya.

"Anak muda, kamu tidak pantas berada di sini. Pulanglah sebelum semuanya terlambat," bisik lelaki itu sambil menyelipkan sejumlah uang ke tangannya.

Malam itu, Jamilah menangis sejadi-jadinya. Uang di tangannya cukup untuk membeli tiket pulang. Keesokan harinya, dengan tekad yang kuat, ia meninggalkan tempat itu tanpa memberitahu Ningsih. Ia sadar, dunia malam bukan tempat yang cocok untuk dirinya. Menurut Jamilah kebahagiaan sejati tidak ditemukan di kota gemerlap, tetapi dalam pelukan keluarganya dan dalam hidup yang dijalani dengan kejujuran.

***

Jamilah pulang ke kampung dengan membawa luka dan pelajaran berharga. Ia menceritakan semua yang dialami kepada ibunya. Jamilah menyesal telah membuat keputusan yang ceroboh. Ibu Jamilah memeluknya dengan erat. 

"Kamu sudah kembali, nak. Itu yang terpenting. Hidup ini memang tidak mudah, tapi bersama-sama kita pasti bisa melewatinya. Tuhan akan selalu bersama hamba-Nya. Bahkan pun mereka sudah terjerumus sebagai jalang," ucap ibu Jamilah menenangkan.

Sejak saat itu, Jamilah bertekad menjalani hidupnya dengan lebih berhati-hati. Ia belajar untuk tidak mudah percaya pada orang lain. Di kampung, Jamilah pun mulai berjualan gorengan kecil-kecilan. Perlahan, mereka membangun hidup yang lebih baik tanpa harus mengorbankan martabat dan kehormatan.

***

"Cerita Anak Manusia" adalah kumpulan cerita yang aku tulis berdasarkan pengalaman sosial di sekitar kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

7 Kutipan dari R.A. Kartini yang Penuh Inspiratif

Bagaimana Jika Perawang Tanpa Indah Kiat?

Mengenal Indonesia Lewat Cerita dan Gurauan, Tongkrongan Anak PMM 3

Cerita PMM 3: Sudah Jangan ke Jatinangor, Nanti Kamu Terlanjur Nyaman

Bandung Lautan Cinta, Kemagisan Bandung dengan Segala Romantisasinya