Mengenal Indonesia Lewat Cerita dan Gurauan, Tongkrongan Anak PMM 3

Penghuni Pondok Kita bersama Kang Alan saat Malam Keakraban

Tak bosan para anak lelaki penghuni Pondok Kita selalu bertukar cerita mengenai daerah asalnya. Setiap topik obrolan pasti ada saja alur yang menyeret anak-anak lelaki itu untuk kembali menceritakan daerahnya. Cerita-cerita yang kadang dikemas serius, kadangkala juga dikemas renyah dengan gelak tawa. 

Padahal sudah hitungan bulan, mereka termasuk aku berbagi cerita di bangunan kosan berlantai tiga itu. Tapi keunikan daerah masing-masing seakan tabungan yang tak pernah habis untuk diceritakan dalam setiap topik-topik obrolan.

Di mulai dari cerita tentang awal ketibaan kami di Jatinangor, betapa kami saling mengeluh akan suhu Jatinangor yang lebih dingin dibandingkan daerah asal kami di Sumatera, Bali, Sulawesi dan Papua. Kami mengeluh sambil saling adu nasib betapa panasnya daerah asal kami. Yahya dengan ceritanya tentang kota Palu di Sulawesi Tengah yang panas pun dengan lucu menyeletuk.

"Eh, kalian kalau mau tau panasnya Palu liat saja saya sebagai produk Palu yang gelap ini. Skincare pun ga mampu lagi menolong saking panasnya Palu," ujar Yahya sambil tersenyum-senyum tipis yang kemudian dibalas gelak tawa oleh kami. Tak bermaksud diskriminasi warna kulit, namun kami menghargai antusias Yahya yang berusaha membuktikan betapa panasnya kota Palu lewat gurauannya.

Bak gayung bersambut, anak Bali pun tak mau kalah mengeluhkan panasnya pulau Dewata itu. "Iya we, kalau di Bali kita keluar motoran sehari saja udah belang kulit. Apalagi di kawasan pantai, panas banget," sahut Arik menimpali cerita Yahya. Cerita adu nasib pun mengalir, masing-masing anak tak mau kalah saing untuk menceritakan betapa panasnya daerah mereka.

Pernah juga suatu waktu Iqbal yang ber-KTP Papua namun berkuliah di Makassar, Sulawesi Selatan bercerita soal pengalamannya mendapat pertanyaan aneh saat di kampus UNPAD. Pertanyaan itu mempertanyakan apakah di Papua juga ada Mie Ayam. Sambil tertawa kesal menceritakan pengalamannya, Iqbal berseru, "anjir, dikira kita hutan belantara kali ya, haha!"

Bagi Iqbal itu pertanyaan terlucu dan teraneh yang pernah ia terima. Kami pun merespon cerita Iqbal dengan menambah pertanyaan lain yang sebenarnya sebagai gurauan kocak. "Oiya Bal, tapi di Papua ada Mall kan Bal?," tanya kami usil. Sontak obrolan itu menjadi pecah oleh gelak tawa kami bersama. 

Melalui gurauan ini kami dapat memahami dari cerita Iqbal, bahwa tanah Papua tak seperti yang selalu terbayang pada setiap benak kebanyakan orang sebagai hutan belantara maupun daerah yang tertinggal. Papua juga sama seperti daerah lainnya yang menggebu dengan kemajuan serta pembangunan.

Di lain waktu kami juga menemukan keunikan pada dua anak Nias penghuni Pondok Kita, Eky dan Vicaris. Ternyata suku Nias tidak terbiasa dengan huruf konsonan (huruf mati) sebagai akhiran kata, cerita ini sudah pernah aku kupas di blog sebelumnya. Itu dikarenakan bahasa Nias hampir semuanya berakhiran huruf vokal. Alhasil logat mereka dalam berbicara bahasa Indonesia terdengar aneh bagi kami yang asing. Misalnya saja, "mau liat kawan sakit," menjadi "mau lia kawa saki."

Dari Eky maupun Vicaris kami dapat memahami bahwa ragam bahasa dan dialek daerah merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang mesti dilestarikan. Bicara soal bahasa daerah, ada hal unik lainnya yang aku sendiri baru menemukannya selama ikut PMM 3. Ialah prihal berhitung, ternyata ada kemiripan bahasa daerah dalam menyebutkan angka-angka.

Karena penasaran, kami melakukan eksperimen berhitung dalam bahasa Jawa oleh aku, Sunda lewat gugling, Batak oleh Aldy, Nias oleh Eky, Bali oleh Pande, Lampung oleh Fadhli dan Mandar oleh Bayu. Ada beberapa angka yang ternyata sama atau paling tidak mirip penyebutannya. Benar-benar sulit dipercaya, jauh dari ujung ke ujung Indonesia memiliki kemiripan dalam menyebutkan angka-angka.
  • Berhitung sepuluh dalam bahasa Jawa: Siji, Loro, Telu, Papat, Limo, Enem, Pitu, Wolu, Songo, Sepuluh.
  • Berhitung sepuluh dalam bahasa Sunda: Hiji, Dua, Tilu, Opat, Limo, Genep, Tujuh, Dalapan, Salapan, Sapuluh.
  • Berhitung sepuluh dalam bahasa Batak: Sada, Dua, Tolu, Opat, Limo, Onom, Pitu, Walu, Sia, Sampuluh.
  • Berhitung sepuluh dalam bahasa Nias: Sara, Rua, Tolu, Ofa, Limo, Ono, Fitu, Walu, Siwa, Fulu.
  • Berhitung sepuluh dalam bahasa Bali: Besik, Dua, Telu, Papat, Lima, Nenem, Pitu, Kutus, Sia, Dasa.
  • Berhitung sepuluh dalam bahasa Lampung: Sai, Rua, Telu, Pak, Lima, Enom, Pitu, Walu, Siwa, Puluh.
  • Berhitung sepuluh dalam bahasa Mandar: Mesa, Dadua, Tallu, Appe, Lima, Pitu, Walu, Amissa, Sapuloh.
Inilah keunikan Indonesia yang kami temukan lewat cerita dan gurauan di Pondok Kita selama PMM 3. Sebagai anak muda tentunya kita patut bersyukur atas keberagaman ini, baik secara kondisi alam, budaya, adat, bahasa, makanan, warna kulit dan lainnya. Pondok Kita yang kami huni tak henti-hentinya memberikan cerita dan pengalaman baru yang berharga. Karena ada cerita unik di setiap kamarnya.

Penghuni Pondok Kita di Kamar Aldy

Terima kasih banyak sudah membaca!
Nantikan cerita-cerita PMM 3 lainnya di blog ini!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nyanyian Menutup Hari, Harmoni dari Perawang Kota Industri

Bandung Lautan Cinta, Kemagisan Bandung dengan Segala Romantisasinya