Bagaimana Jika Perawang Tanpa Indah Kiat?
Perjalanan menuju masa depan adalah sebuah misteri. Tidak pernah tahu di depan seperti apa dan bagaimana? Begitulah kira-kira aku yang tidak pernah menyangka akan meniti jalan asa di kota industri ini. Perawang, kota kecil yang mungkin tidak lebih besar dari kawasan industrinya.
Hari-hari yang monoton ku jalani untuk magang di PT Indah Kiat Pulp and Paper, perusahaan kertas dan pulp terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Bagaimana tidak monoton, setiap hari mesti bangun lebih pagi, berangkat bekerja, pulang sore dan hanya punya sisa waktu di malam hari saja. Begitulah siklus yang berulang setiap harinya.
Namun, di balik rutinitas yang membosankan itu, ada sesuatu yang membuatku sering termenung. Aku mulai memikirkan betapa besar pengaruh PT Indah Kiat bagi kehidupan di Perawang. Rasanya sulit membayangkan kota kecil ini tanpa kehadiran industri ini. Segala sesuatu di Perawang—dari ekonomi, sosial, hingga budaya—seolah berputar mengelilingi keberadaan perusahaan tersebut.
Di pagi hari, jalanan Perawang penuh oleh para pekerja yang berlalu-lalang menuju pabrik. Warung makan, warung kopi, dan warung gorengan di sudut-sudut jalan menggeliat lebih awal untuk melayani mereka yang ingin sarapan sebelum memulai hari.
Para pedagang kecil, pemilik kontrakan, pengusaha katering, hingga pengusaha laundry atau cuci setrika baju menggantungkan penghidupan mereka pada roda ekonomi yang digerakkan oleh PT Indah Kiat.
Tapi, bagaimana jika perusahaan itu tak lagi ada? Pertanyaan itu terus mengusik pikiranku. Apakah Perawang akan tetap berdiri kokoh, atau justru perlahan tenggelam?
Bayangkan saja, ribuan karyawan akan kehilangan pekerjaan. Mata pencaharian warga yang bergantung pada ekosistem perusahaan akan tercerabut begitu saja. Sekolah-sekolah yang dibangun untuk anak-anak pekerja mungkin akan kehilangan muridnya. Masyarakat sekitar yang menerima program CSR akan kehilangan manfaatnya. Bahkan, jalanan yang kini ramai bisa jadi berubah sepi.
Namun, lebih dari itu, aku mulai bertanya-tanya, apakah Perawang terlalu bergantung pada satu tiang penyangga? Apakah warga dan pemerintah setempat telah mempersiapkan rencana cadangan, atau hanya pasrah pada apa yang ada saat ini?
Aku sadar, pertanyaan-pertanyaan itu tak memiliki jawaban yang mudah. Tapi satu hal yang pasti, Perawang bukan sekadar sebuah kota kecil di pinggiran ibukota Provinsi Riau, Pekanbaru. Ia adalah rumah bagi banyak orang, termasuk aku, yang perlahan-lahan belajar menghargai betapa pentingnya keberlanjutan dan kemandirian.
Ketika malam tiba dan aku kembali ke kamar mes setelah seharian bekerja, aku mulai membayangkan jika setahun atau dua tahun dari sekarang aku kembali lagi ke kota ini untuk meniti penghidupan. Menjadi bagian dari perputaran ekonomi di kawasan industri Perawang yang menurutku sangat sulit lepas dari peran PT Indah Kiat.
Tapi satu hal yang aku yakini, di tengah kota kecil ini, aku pun sedang dibentuk dan menemukan diriku yang sesungguhnya.
![]() |
Kawasan pelabuhan logistik PT Indah Kiat Pulp and Paper, Perawang Mill |
Komentar
Posting Komentar