Postingan

Cerita Anak Manusia: Tuhan Para Jalang

Gambar
Ilustrasi Setelah menyelesaikan sekolah menengah atas, orang tua Jamilah tidak mampu membiayainya berkuliah. Jamilah yang hidup sebagai anak tunggal dari keluarga miskin ini terpaksa ikut Ningsih tetangganya untuk bekerja di kota. Sempat ditahan oleh ibunya, namun, Jamilah bersikukuh untuk ikut Ningsih yang sudah 2 tahun merantau dan kabarnya bekerja di sebuah warung makan.  Sejak kecil, Jamilah memang tidak pernah jauh dari rumah. Kesehariannya pun hanya berputar pada sekolah, mengaji, dan membantu pekerjaan rumah. Wajar, bila ibu Jamilah keberatan melepasnya pergi merantau ke kota. "Kamu yakin, nak, mau ikut Ningsih bekerja di kota? Nanti kalau ada apa-apa bagaimana? Ibu tidak yakin Ningsih bisa dipercaya menjaga kamu. Dari kecil, dia saja sudah sering berbohong. Apalagi kamu tidak pernah kemana-mana. Ibu takut kamu kenapa-kenapa, nak." "Jamilah sangat yakin, Bu. Kalau Jamilah terus-terusan di rumah, bagaimana hidup kita akan berubah? Bapak juga sudah sakit-sakitan. Mu...

Bagaimana Jika Perawang Tanpa Indah Kiat?

Gambar
Perjalanan menuju masa depan adalah sebuah misteri. Tidak pernah tahu di depan seperti apa dan bagaimana? Begitulah kira-kira aku yang tidak pernah menyangka akan meniti jalan asa di kota industri ini. Perawang, kota kecil yang mungkin tidak lebih besar dari kawasan industrinya. Hari-hari yang monoton ku jalani untuk magang di PT Indah Kiat Pulp and Paper, perusahaan kertas dan pulp terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Bagaimana tidak monoton, setiap hari mesti bangun lebih pagi, berangkat bekerja, pulang sore dan hanya punya sisa waktu di malam hari saja. Begitulah siklus yang berulang setiap harinya. Namun, di balik rutinitas yang membosankan itu, ada sesuatu yang membuatku sering termenung. Aku mulai memikirkan betapa besar pengaruh PT Indah Kiat bagi kehidupan di Perawang. Rasanya sulit membayangkan kota kecil ini tanpa kehadiran industri ini. Segala sesuatu di Perawang—dari ekonomi, sosial, hingga budaya—seolah berputar mengelilingi keberadaan perusahaan tersebut. Di pagi hari...

Nyanyian Menutup Hari, Harmoni dari Perawang Kota Industri

Gambar
Dalam lelahnya sore menjelang malam, empat anak laki-laki di bilik sebelah sangat asyik dengan gitar dan lagu-lagunya. Sepertinya ini sudah menjadi rutinitas sepulang kerja praktik. Aku yang berisitirahat di kamar turut menikmati nyanyian mereka. Nyanyian sumbang yang bagiku sungguh indah, karena ada sudut pandang lain yang aku temukan dari keempat anak laki-laki itu. Sudah hampir tiga bulan aku tinggal dalam satu mes dengan mereka. Kami sama-sama sedang melaksanakan kerja praktik di perusahaan kertas di kota kecil Perawang, Riau. Di kamar 1 ada Samuel dan Madan dari SMK Yapin, Pekanbaru. Sementara di kamar 2 ada Hardi dan Iwan dari SMKN 3 Mandau, Duri. Keempat anak laki-laki inilah yang selalu menjadi pelepas letihku dalam lagu-lagu yang dibawakan mereka. Dari dalam kamar, aku mendengar Samuel dengan genjrengan gitarnya bernyanyi, diiringi teman-temannya yang lain. Mereka melakukannya di kamar Samuel. Menurutku Samuel cukup piawai dalam memainkan nada-nada lagu pada gitar. Barangkali ...

Tradisi Melayu Bengkalis, Gemerlap Lampu Colok Menyambut Idul Fitri

Gambar
Lampu Colok di Desa Pangkalan Batang, Bengkalis Pengaruh agama Islam yang melebur dalam kehidupan masyarakat mampu melahirkan beragam tradisi dan budaya khususnya dalam menyambut hari raya Idul Fitri. Menjelang hari raya Idul Fitri ada banyak cara masyarakat menyambut dan memeriahkannya dengan penuh sukacita.  Masyarakat Melayu Bengkalis di Riau misalnya, sudah berpuluh-puluh tahun langgeng dengan tradisi Festival Lampu Colok yang digelar setiap malam tujuh likur atau malam 27 Ramadan. Lampu colok merupakan lampu pelita tradisional yang biasanya disusun menyerupai bentuk Masjid. Tradisi ini menjadi bukti betapa kuatnya pengaruh Islam pada masyarakat Melayu Bengkalis. Dahulu lampu colok digunakan oleh masyarakat Melayu Bengkalis sebagai penerang jalan karena belum tersedianya listrik. Terlebih saat bulan Ramadan tiba, lampu colok disusun di jalan sebagai penerang menuju Masjid ataupun Surau.  Hingga kini kebiasaan menyalakan lampu colok masih eksis dan lestari saat bulan Ramada...

Mengenal Indonesia Lewat Cerita dan Gurauan, Tongkrongan Anak PMM 3

Gambar
Penghuni Pondok Kita bersama Kang Alan saat Malam Keakraban Tak bosan para anak lelaki penghuni Pondok Kita selalu bertukar cerita mengenai daerah asalnya. Setiap topik obrolan pasti ada saja alur yang menyeret anak-anak lelaki itu untuk kembali menceritakan daerahnya. Cerita-cerita yang kadang dikemas serius, kadangkala juga dikemas renyah dengan gelak tawa.  Padahal sudah hitungan bulan, mereka termasuk aku berbagi cerita di bangunan kosan berlantai tiga itu. Tapi keunikan daerah masing-masing seakan tabungan yang tak pernah habis untuk diceritakan dalam setiap topik-topik obrolan. Di mulai dari cerita tentang awal ketibaan kami di Jatinangor, betapa kami saling mengeluh akan suhu Jatinangor yang lebih dingin dibandingkan daerah asal kami di Sumatera, Bali, Sulawesi dan Papua. Kami mengeluh sambil saling adu nasib betapa panasnya daerah asal kami. Yahya dengan ceritanya tentang kota Palu di Sulawesi Tengah yang panas pun dengan lucu menyeletuk. "Eh, kalian kalau mau tau panasnya...

Cerita PMM 3: Warna-warni Keberagaman, Festival Budaya UNPAD Pecah!

Gambar
Gebyar Budaya: Wonderfull of Nusantara Pagi sekali tampak lelaki di cermin berbusanakan serba kuning hijau. Penuh percaya diri mengenakan busana yang disebut Cekak Musang dengan Tanjak di kepala serta Songket yang melilit di pinggang. Apa yang dikenakan merupakan identitas budaya kebanggaan masyarakat Melayu Riau. Lelaki itu adalah aku yang bersiap untuk perayaan Festival Budaya PMM 3 Universitas Padjadjaran. Bertepatan hari sumpah pemuda, menembus pagi dan berlaga dengan ayam yang baru terbangun dari lelapnya, aku berjalan menyongsong semangat dan energi muda. Sepanjang jalan aku dipandangi oleh orang-orang, pikirku mereka heran dan asing dengan apa yang aku kenakan. Aku lantas mempercepat langkahku, bukan karena malu menjadi sorotan tetapi aku punya tanggung jawab sebagai panitia dalam acara tersebut. Sialnya odong yang akan mengantar jemput peserta Festival Budaya belum tersedia pagi itu. Alhasil aku harus berjalan kaki mendaki jalanan UNPAD yang menanjak sampai ke Lapangan Merah te...

Cerita PMM 3: Sudah Jangan ke Jatinangor, Nanti Kamu Terlanjur Nyaman

Gambar
Penghuni Pondok Kita di Jans Park "Sudah Jangan ke Jatinangor" Melangkahkan kaki menembus batas ragu. Menempuh berkilo-kilo jarak, hanya untuk ke Jatinangor. Apa istimewanya kota ini? Apakah seperti Jogja yang kerap diromantisasi keistimewaan budayanya? Atau Bandung dengan puisi-puisi Pidi Baiq? Entahlah, yang jelas ada kebanggaan serta mimpi di Jatinangor, tepat di kampus biru dongkernya. Manusia Yogi Jatinangor, 26 Agustus 2023 Banyak hal manis di Jatinangor, banyak juga hal pahit atau bahkan hambar. Tak terasa tulisan di atas yang ku tulis tepat saat awal menginjakkan kaki di Jatinangor sudah akan menjadi kenangan. Sebab tak kurang dari sebulan lagi akan meninggalkan kota ini. Jatinangor dan segala ceritanya terbingkai dalam benakku. Berat rasanya berpisah dengan tempat ini. Ada nasi goreng Mama Kukus yang masih ingin ku coba, Kantin Jatinangor tempat makan favorit, Pujasera tempat nongkrong murah meriah, Jatos tempat melepas setres dan banyak tempat lainnya. Kalau bukan k...