Jadwal Makan Gorengan di Indonesia, Tongkrongan Anak PMM 3
Beberapa para penghuni Pondok Kita berfoto di Gedung Sate, Bandung |
Tongkrongan Anak PMM 3 Part 1
Perbincangan anak lelaki dini hari bak kuliah 4 SKS. Segala teori kehidupan, konspirasi bahkan dunia gaib menjadi topik yang renyah dibahas.
Seperti biasa, setelah matahari bergantian tugas dengan bulan dan bintang, anak-anak lelaki penghuni Pondok Kita biasa melakukan perkumpulan. Di sudut kos-kosan, empat anak lelaki terlibat dalam dialog malam sampai dini hari.
Berlatar belakang daerah dan budaya yang berbeda, obrolan mengenai keragaman daerah asal menjadi seru.
Diwakili oleh Ario dan Fatur, Sulawesi Tengah tergambar dalam cerita mereka. Masih di tanah Sulawesi, Iqbal dengan ceritanya menggambarkan Sulawesi Selatan. Beranjak dari timur tepat ke arah Indonesia barat, Yogi mewakili Riau.
Bergilir dalam mempresentasikan daerah masing-masing, anak-anak yang lainnya menyimak dengan penuh antusias. Hingga obrolan mengarah pada kebiasaan makan gorengan di daerah masing-masing.
Iqbal sebagai pemantik mengatakan bahwa di Jatinangor gorengan yang dijual saat siang hari adalah gorengan yang sudah digoreng pagi harinya. Kemudian disambut oleh Yogi, "lah emang digoreng pagi, kan buat sarapan. Di Riau juga gitu."
Sontak ketiga anak Pulau Sulawesi itu terkejut dan merasa aneh mendengar yang disampaikan Yogi.
Menyantap gorengan di pagi dan siang hari adalah hal aneh bagi mereka. Lazimnya di Sulawesi menyantap gorengan di sore-malam hari. Bahkan aneh jika gorengan dijadikan sebagai menu sarapan.
"Kita di Sulawesi pedagang gorengan baru buka waktu sore-malam. Soalnya di sana gorengan dimakan saat sore dan malam saja. Mana ada gorengan buat sarapan," terang Ario.
"Iya, masa gorengan dijual pagi. Kalau malam kan bisa untuk teman ngobrol atau cemilan waktu rapat di kampus," sahut Fatur.
Seperti ketiga anak Sulawesi itu, Yogi turut merasakan keanehan yang sama seperti mereka. Bagi Yogi, gorengan bukan menu lazim yang cocok dimakan malam hari.
Mayoritas pedagang gorengan di Sumatera tutup pada sore hari dan bergantian dengan pedagang nasi goreng, roti bakar, martabak dan makanan berkuah. Makanan seperti itulah yang lazim sebagai menu makan malam, bukan gorengan.
Ternyata perkara gorengan menjadi perdebatan diantara mereka. Layaknya pendukung bubur diaduk dan tidak diaduk, mereka beradu pendapat tentang kapan waktu yang tepat untuk makan gorengan.
Meski begitu, keempat anak lelaki itu belajar tentang bagaimana keberagaman yang ada di negeri ini lewat cerita-cerita yang digambarkan oleh masing-masing anak.
Terutama mengenai jadwal makan gorengan, sepele tapi unik untuk dibahas apalagi diperdebatkan. Ternyata menyantap gorengan punya jadwal di tiap daerah.
Terima kasih banyak sudah mampir dan membaca. Ini merupakan tulisan pertama di blogku setelah lama jeda menulis blog. Dukung dan doakan agar waktu dan semangat menulisku senantiasa penuh. Agar lebih banyak tulisan yang aku terbitkan lewat blog ini. Terutama cerita-cerita dari kegiatan PMM 3 di Universitas Padjadjaran, Jatinangor.
Yogi Kurniawan
Komentar
Posting Komentar